Khamis, 25 Ogos 2011

ALAMAT DAN AMALAN DI MALAM AL QADR

TANDA TANDA LAILATUL QADR


Tanda-tanda Lailatul Qadr telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam beberapa riwayat berikut :

Sebagaimana dikatakan oleh Ubay bin Ka’b pada hadith yang sudah diterangkan di atas [1], beliau berkata:


بِالْعَلاَمَةِ أَوْ بِالآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا.



Dengan tanda yang pernah Rasulullah kabarkan kepada kami, yaitu (matahari) terbit (pada pagi harinya) tanpa sinar (yang terik).

Juga sebagaimana hadits Ibnu Abbas, ia berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ: لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ لاَ حَارَّةَ وَلاَ بَارِدَةَ, تُصْبِحُ شَمْسُهَا صَبِيْحَتُهَا صَفِيْقَةً حَمْرَاءَ.

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang (tanda-tanda) Lailatul Qadr: “Malam yang mudah, indah, tidak (berudara) panas maupun dingin, matahari terbit (di pagi harinya) dengan cahaya kemerah-merahan (tidak terik)" [2].

Juga hadits Jabir bin Abdillah, ia berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنِّيْ كُنْتُ أُرِيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, ثُمَّ نُسِّيْتُهِا, وَهِيَ فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ لَيْلَتِهَا, وَهِيَ لَيْلَةٌ طَلْقَةٌ بَلْجَةٌ لاَ حَارَّةَ وَلاَ بَارِدَةَ.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya aku pernah diperlihatkan (bermimpi) Lailatul Qadr. Kemudian aku dibuat lupa, dan malam itu pada sepuluh malam terakhir. Malam itu malam yang mudah, indah, tidak (berudara) panas maupun dingin" [3].

Demikian pula hadits Ubadah bin Ash Shamit, ia berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِيْ الْعَشْرِ الْبَوَاقِيْ, مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ, وَهِيَ لَيْلَةُ وِتْرٍ, تِسْعٌ أَوْ سَبْعٌ أَوْ خَامِسَةٌ أَوْ ثَالِثَةٌ أَوْ آخِرُ لَيْلَةٍ, وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ َ: إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيْهَا قَمَراً سَاطِعاً سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ, لاَ بَرْدَ فِيْهَا وَلاَ حَرَّ, وَلاَ يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيْهَا حَتَّى تُصْبِحَ, وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيْحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً, لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ, وَلاَ يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ.

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Lailatul Qadr (terjadi) pada sepuluh malam terakhir. Barangsiapa yang menghidupkan malam-malam itu karena berharap keutamaannya, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang. Dan malam itu adalah pada malam ganjil, ke dua puluh sembilan, dua puluh tujuh, dua puluh lima, dua puluh tiga atau malam terakhir di bulan Ramadhan,” dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya tanda Lailatul Qadr adalah malam cerah, terang, seolah-olah ada bulan, malam yang tenang dan tentram, tidak dingin dan tidak pula panas. Pada malam itu tidak dihalalkan dilemparnya bintang, sampai pagi harinya. Dan sesungguhnya, tanda Lailatul Qadr adalah, matahari di pagi harinya terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu" [4]


KEUTAMAAN LAILATUL QADR & AMALAN-AMALAN YANG UTAMA DIKERJAKAN PADA MALAM ITU

Adapun keutamaan Lailatul Qadr, maka cukuplah bagi kita firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah diterangkan di atas.

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا .

(Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril –QS Al Qadr ayat 3, 4-).


لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3} تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ {4}

3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.

4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan.

1.Melakukan I’tikaf.

Sebagaimana hadits Aisyah, dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

Sesungguhnya Nabi melakukan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelahnya [5]. [Hadits yang semisal dengannya ialah, hadits Abdullah bin Umar] [6].

Hadits lain dari Aisyah, dia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَجْتَهِدُ فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَالاَ يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir, yang kesungguhannya tidak seperti pada waktu-waktu lainnya" [7].

Ada juga hadits lainnya dari Aisyah, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرَ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ.

"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila memasuki sepuluh malam terakhir, (beliau) mengikat sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan istri-istrinya (untuk shalat malam)" [8].

Ibnu Katsir berkata: "Makna perkataan Aisyah “ شَدَّ مِئْزَرَهُ “, ialah menjauhi istri (tidak menggaulinya), dan ada kemungkinan bermakna kedua-duanya (mengikat sarungnya dan tidak menggauli istri)" [9].



2. Memperbanyak Doa.

Ibnu Katsir berkata: "Dan sangat dianjurkan (disunnahkan) memperbanyak doa pada setiap waktu, terlebih lagi di bulan Ramadhan, dan terutama pada sepuluh malam terakhir, di malam-malam ganjilnya" [10].

Doa yang dianjurkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah:

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ


Sesuai dengan hadits Aisyah berikut ini:

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, مَا أَدْعُوْ؟ قَالَ: تَقُوْلِيْنَ: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ, تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.

"Aku (Aisyah) bertanya: “Wahai, Rasulullah. Seandainya aku bertepatan dengan malam Lailatul Qadr, doa apa yang aku katakan?” Beliau menjawab: “Katakan: Ya, Allah. Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, dan Engkau menyukai maaf. Maka, maafkan aku" [11].

3. Menghidupkan Malam Lailatul Qadr Dengan Melakukan Shalat Atau Ibadah Lainnya.
Sebagaimana hadits Abu Hurairah, beliau berkata:

عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ, وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

"Dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan (dari Allah), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan pengharapan (dari Allah), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [12].

Demikian tafsir surat Al Qadr, yang secara khusus membawa pesan mulia. Iaitu menghidupkan suatu malam yang penuh berkat. Mudah-mudahan Allah sentiasa membimbing dan memberikan kita kekuatan untuk tetap tsabat dan istiqamah di atas jalanNya yang lurus, jalan orang-orang yang diridhai dan diberikan kenikmatan olehNya sampai kita bertemu denganNya nanti. Amin.




وصلّى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين



Maraji’ dan Mashadir


1. Al Quran dan terjemahnya, cet Mujamma’ Malik Fahd.
2. Shahih Al Bukhari, Imam Bukhari, tahqiq Musthafa Dib Al Bugha, Dar Ibni Katsir, Al Yamamah, Beirut, cet III th 1407 H/1987 M
3. Shahih Muslim, Imam Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya At Turats, Beirut, tanpa cetakan dan tahun
4. Sunan Abu Daud, Imam Abu Daud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Dar Al Fikr, tanpa cetakan dan tahun
5. Jami At Tirmidzi, Imam At Tirmidzi (209-279 H), tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dkk, Dar Ihya At Turats, Beirut, tanpa cetakan dan tahun
6. As Sunan Al Kubra, Imam An Nasai, tahqiq DR. Abdul Ghaffar Sulaiman Al Bundari dan Sayyid Kisrawi Hasan, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, cet I th 1411 H/1991M
7. Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Al Fikr, Beirut, tanpa cetakan dan tahun
8. Musnad Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy Syaibani (164-241), Mu’assasah Qurthubah, Mesir
9. Tafsir Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari (224-310 H), tahqiq Mahmud Syakir, Dar Ihya At Turats, Beirut, cet I th 1421 H/ 2001 M
10. Tafsir Al Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, tahqiq Abdur Razzaq Al Mahdi, Dar Al Kitab Al ‘Arabi, cet II th 1421 H/1999 M
11. Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Sami bin Muhammad AS Salamah, Dar Ath Thayyibah, cet I th 1422 H/2002 M
12. Taisir Karim Ar Rahman fi Tafsiri Kalami Al Mannan, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, tahqiq Abdurrahman bin Mu’alla Al Luwaihiq, Dar As Salam, cet I th 1422 H/2001 M
13. Taqribut Tahdzib, Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H), tahqiq Abu Al Asybal Al Bakistani, Dar Al ‘Ashimah, cet II th 1423 H
14. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H), tahqiq Muhibbuddin Al Khatib, Dar Al Ma’rifah, Beirut, tanpa cetakan dan tahun
15. Tamamul Minnah, Muhammad Nashiruddin Al Albani (1332-1420 H), Al Maktabah Al Islamiyah dan Dar Ar Rayah, cet III th 1409 H
16. Ats Tsamrul Mustathab, Muhammad Nashiruddin Al Albani (1332-1420 H), Dar Gharras, cet I tanpa tahun
17. Dha’if At Targhib wa Tarhib, Muhammad Nashiruddin Al Albani (1332-1420 H), Maktab Al Ma’arif, Riyadh, tanpa cetakan dan tahun
18. Fatwa Lajnah Daimah

_______

[1]. Lihat point ke lapan pada pembahasan “Bilakah Lailatul Qadr?”.
[2]. HR Ath Thayalisi di Musnadnya (hal.349 no.2680). Dan hadits ini dishahihkan Al Albani. (Lihat Shahih Al Jami’ no.5475).
[3]. HR Ibnu Khuzaimah di Shahihnya (3/330 no.2190), Ibnu Hibban di Shahihnya (8/443 no.3688) dan lain-lainnya. Dan hadits ini dishahihkan Al Albani karena banyak syawahidnya.
[4]. HR Ahmad (5/324). Lihat pula tafsir Ibnu Katsir (8/445).
[5]. HR Al Bukhari (2/713 no.1922), Muslim (2/830 no.1172), dan lain-lainnya.
[6]. HR Al Bukhari (2/713 no.1921), Muslim (2/830 no.1171), dan lain-lainnya.
[7]. HR Muslim (2/832 no.1175), dan lain-lainnya.
[8]. HR Al Bukhari (2/711 no.1920), Muslim (2/832 no.1174), dan lain-lainnya.
[9]. Tafsir AlQuran Al Azhim (8/451), kemudian Ibnu Katsir membawakan hadits A’isyah yang dikeluarkan Ahmad di Musnadnya (6/66 no.24422):

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَقِيَ عَشْرٌ مِنْ رَمَضَانَ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَاعْتَزَلَ أَهْلَهُ.

"Dari A’isyah,berkata: “Rasulullah apabila memasuki sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan mengikat sarungnya dan menjauhi istri-istrinya".

[10]. Tafsir AlQuran Al Azhim (8/451).
[11]. HR Ibnu Majah (2/1265 no.3850), At Tirmidzi (5/534 no.3513), An Nasa’i di As Sunan Al Kubra (4/407 no.7712, 6/218 no.10708, 6/219 no.10709, 10711, 10712, 10713, 6/519 no.11688), Ahmad (6/171 no.25423, 6/182 no.25534, 6/183 no.25536, 6/208 no.25782, 6/258 no.26258), dan lain-lainnya. Dan Hadits ini dishahihkan Al Albani. (Lihat Shahih Sunan Ibnu Majah, Shahih Al Jami’ no.4423).
[12]. HR Al Bukhari (2/709 no.1910, 2/672 no.1802, 1/21 no.35), Muslim (1/523 no.760), dan yang lain-lainnya.

TAFSIR SURAH AL QADR


بسم الله الرحمن الرحيم

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3} تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ {4} سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ {5}‏




1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur`an) pada malam Qadr.[1]

2. Dan tahukah kamu apakah malam Qadr itu?

3. Malam Qadr itu lebih baik dari seribu bulan.

4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin tuhannya untuk mengatur segala urusan.

5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.



Sebahagian besar ulama tafsir [2] berpendapat, surah Al Qadr adalah Makkiyah (yang diturunkan sebelum hijrah). Adapun penamaan surah ini dengan Al Qadr, kerana surah ini menerangkan keutamaan dan tingginya kedudukan Al Qur`an, yang juga diturunkan pada malam yang sangat mulia. Dinamakan Lailatul Qadr kerana kedudukannya yang begitu agung dan mulia di sisi Allah [3]. Oleh kerananya malam itu penuh dengan keberkatan. Allah berfirman:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ

(Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati) [4].

Ibnu Katsir berkata,”(Malam yang diberkati) itulah Lailatul Qadr, (yang terjadi) pada bulan Ramadhan, sebagaiman firman Allah Ta’ala

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

(Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an) [5].

Ibnu Abbas dan yang lainnya berkata: "Allah telah menurunkan Al Qur`an dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (di langit dunia) secara langsung (sekaligus), kemudian menurunkannya kepada Rasulullah secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa-peristiwa (yang terjadi semasa hidupnya) selama dua puluh tiga tahun" [6].

Adapun yang berkenaan dengan asbabun nuzul (sebab turunnya) surah ini, maka tidak ada satupun riwayat sahih yang boleh dijadikan hujjah ataupun dalil [7].

At Tirmidzi pernah menyebutkan sebuah hadith yang masih erat kaitannya dengan sebab turunnya surah ini. Sengaja kami bawakan untuk menghapus persepsi buruk sebagian kaum muslimin [8] terhadap sejarah pemerintahan Bani Umayah. Apabila keyakinan semacam ini dibiarkan, maka akan mengakibatkan cacatnya aqidah dan manhaj kaum Muslimin, kerana mengandung celaan terhadap salah satu sahabat Rasulullah yang mulia, iaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan masa pemerintahan Bani Umayah secara umum.


Di dalam Jami’nya [9], At Tirmidzi menyebutkan sebuah riwayat lemah dengan sanadnya dari Al Qasim bin Fadhl Al Huddani, dari Yusuf bin Sa’ad, ia berkata: “Seseorang berdiri menuju Al Hasan bin Ali setelah beliau membai’ah Mu’awiyah, lalu berkata: " Engkau telah menghitamkan wajah-wajah kaum Mukminin" atau "Wahai orang yang menghitamkan wajah-wajah kaum Mukminin!". Berkata (Al Hasan bin Ali): ‘Janganlah mencelaku rahimakallah. Sesungguhnya Nabi pernah diperlihatkan (keadaan) Bani Umayah di mimbarnya, dan hal itu membuatnya tidak senang, maka turunlah

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ

(Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak), Wahai Muhammad, iaitu sebuah sungai di Syurga, dan (juga) turun:


إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3

(masa) yang akan dikuasai Bani Umayah sepeninggalmu wahai Muhammad".

Al Qasim berkata: “Maka kami hitung (masa khilafah Bani Umayah), dan (memang) tepat seribu bulan, tidak lebih atau kurang seharipun”.

Ibnu Katsir mengulas tentang hadith ini [10] dan berkata: Dan Al Hakim, di dalam kitab Al Mustadrak-nya [11] meriwayatkan hadith ini dari jalan Al Qasim bin Fadhl dari Yusuf bin Mazin,… Dan Ath Thabari[12] meriwayatkan dari jalan Al Qasim bin Fadhl dari ‘Isa bin Mazin [13] , demikian katanya, dan hal ini mengakibatkan hadith ini menjadi mudhtharib [14] , wallahu a’lam.

Maka hadith ini munkarun jiddan (sangat mungkar), (sehingga) Syaikh kami, Al Imam Al Hafizh Al Hujjah Abul Hajjaj Al Mizzi berkata: “Ini hadith munkar”.[15]


Ibnu Katsir berkata: “Perkataan Al Qasim bin Fadhl Al Huddani bahawa dia telah menghitung masa kekuasaan Bani Umayah, lalu katanya ia dapatkan tepat seribu bulan tidak lebih dan tidak kurang seharipun, adalah tidak benar. Kerana sesungguhnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu 'anhu sudah berkuasa ketika Al Hasan bin Ali menyerahkan kuasa (dengan membai’atnya) pada tahun 40 H, dan seluruh kaum Muslimin membai’atnya pula, sehingga tahun itu dinamakan ‘Amul Jama’ah (tahun jamaah).

Adapun kaum Muslimin di Syam dan tempat lainnya, (mereka) tetap berada di bawah naungan khilafah Bani Umayah. Tidak ada yang keluar (dari kekuasaan Bani Umayah) kecuali pada masa Abdullah bin Az Zubair berkuasa di Haramain dan Al Ahwaz dan sebahagian wilayah di sekitarnya, selama kurang lebih sembilan tahun. Pemerintahan Abdullah bin Az Zubair masih tetap di bawah khilafah Bani Umayah, sampai akhirnya datang peristiwa perebutan khilafah Bani Al Abbas pada tahun 132 H. Dengan demikian, masa kekhilafahan Bani Umayah ialah sembilan puluh dua tahun, yang berarti melebihi seribu bulan, kerana seribu bulan sama dengan delapan puluh tiga tahun empat bulan.

(Demikianlah) seolah-olah Al Qasim bin Fadhl tidak menganggap penghitungan bilangan tahun kekuasaan Abdullah bin Az Zubair, sehingga apabila memang demikian, maka apa yang dikatakannya adalah benar. Wallahu a’lam.

Di antara hal-hal yang menunjukkan dha’ifnya hadith ini ialah, hadith ini dibawakan untuk melakukan celaan terhadap Daulah Bani Umayah. Jika yang dimaksud seperti itu, maka tentu tidak (perlu) dibawakan dengan konteks semacam ini! Kerana sesungguhnya, mengutamakan Lailatul Qadr di atas masa kekuasaan Bani Umayah, (sama sekali) tidak menunjukkan adanya pencelaan terhadap masa kekuasaan mereka. Kerana sesungguhnya, Lailatul Qadr adalah malam yang sangat mulia. Surah yang mulia ini diturunkan dalam konteks memuliakan Lailatul Qadr. Maka bagaimana (mungkin boleh difahami) Lailatul Qadr dimuliakan dengan pengutamaannya di atas masa khilafah Bani Umayah yang tercela sebagaimana kandungan hadith tersebut?

Kemudian, adakah orang yang memahami, bahwa yang dimaksud dengan seribu bulan dalam ayat ini adalah masa khilafah Bani Umayah? Sedangkan surah ini adalah Makkiyah? Bagaimana (mungkin) makna alfi syahrin (seribu bulan) dipalingkan kepada masa khilafah Bani Umayah? Sedangkan lafazh ayat maupun maknanya, (sama sekali) tidak menunjukkan hal itu?! Lagi pula, mimbar Rasulullah (yang tercantum dalam hadith ini) baru dibuat di Madinah, (iaitu) setelah beberapa saat dari hijrahnya. Maka (jelaslah sudah), semuanya ini sebagai dalil (dan bukti) dha’if dan munkarnya hadith ini. Wallahu a’lam.” [16]

Pada ayat berikutnya Allah berfirman:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ

(Dan tahukah kamu apakah malam al Qadr itu?).

Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata [17] : “Pengulangan pertanyaan ini adalah sebagai pengagungan, seperti (juga) firman Allah:

الْقَارِعَةُ {1} مَا الْقَارِعَةُ {2} وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ {3

1) Hari Kiamat. (2) Apakah Hari Kiamat itu? (3) Tahukah kamu apakah Hari Kiamat itu? [18]

Kemudian Allah berfirman:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ

(Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan).

Ada sejumlah hadith-hadith yang berkaitan dengan ayat ini, di antaranya ialah:

عن أبي هريرة قال: لمَـَّا حَضَرَ رَمَضَانُ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ, شَهْرٌ مُبَارَكٌ, اِفْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ, تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ, وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ, وَتُغَلُّ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ, فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ, مَنْ حُرِمَ خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ.((

"Dari Abu Hurairah, ia berkata: Tatkala tiba bulan Ramadhan, Rasulullah bersabda: “Telah datang pada kalian Ramadhan, bulan yang diberkati. Allah memerintahkan kalian untuk berpuasa padanya. Pada bulan itu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup, dan setan-setan diikat. Pada bulan itu terdapat Lailatul Qadr. Barangsiapa yang terhalang dari kemuliaan (keutamaannya), sungguh dia telah terhalang”.[19]

Ath Thabari dan Ibnu Katsir berkata [20]: Sufyan Ats Tsauri berkata: “Telah sampai kepadaku perkataan Mujahid لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ , dia berkata: ’Amalan, puasa, dan shalat pada malam itu (Lailatul Qadr) lebih baik dari seribu bulan.”

Adapun maksud para ulama tafsir, bahwa ibadah pada malam Lailatul Qadr lebih utama dari ibadah selama seribu bulan, iaitu (seribu bulan) yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul Qadr.[21]

Syaikh Al Albani berkata: “Di antara masa, ada yang telah Allah jadikan seluruh amalan baik padanya lebih utama (dari waktu-waktu selainnya), seperti pada sepuluh Dzulhijjah dan malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan, iaitu seluruh amalan pada malam itu lebih utama (baik) dari amalan selama seribu bulan tanpa Lailatul Qadr di dalamnya”.[22]

Kemudian pada ayat berikutnya Allah berfirman:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ

(Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan idzin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan).

Sebagian besar ulama menafsirkan (الرُّوحُ) adalah Jibril, dan sebagian yang lain menafsirkan dengan jenis malaikat lainnya [23].

Firman Allah بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ , maksudnya ialah, mereka (para malaikat) turun dengan izin Rabb mereka, dengan segala sesuatu yang telah Allah tentukan pada tahun itu, dari masalah rezeki, ajal, dan perkara lainnya. [24]

Lalu di akhir surah Al Qadr ini, Allah berfirman:


سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

(Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar).

Maksudnya ialah, pada malam Lailatu Qadr penuh dengan kebaikan dan keberkahan seluruhnya, selamat dari segala kejahatan dan keburukan apapun, setan-setan tidak mampu berbuat kerusakan dan kejahatan sampai terbit fajar di pagi harinya.

Demikian ini adalah perkataan sebagian besar ulama, seperti Mujahid, Nafi’, Qatadah, Ibnu Zaid, Abdurrahman bin Abi Laila, dan lain-lainnya [25]. Adapun menurut Asy Sya’bi, dia berpendapat, pada malam itu para malaikat memberikan ucapan salam kepada para penghuni masjid-masjid (yang beribadah di dalamnya) sampai terbit fajar [26].

APAKAH LAILATUL QADR MERUPAKAN SALAH SATU KEKHUSUSAN UMAT ISLAM, ATAUKAH JUGA TERDAPAT PADA UMAT UMAT SEBELUMNYA?


As Suyuthi membawakan hadith yang dikeluarkan oleh Ad Dailami [27], dari Anas, beliau berkata:

إِنَّ اللهَ وَهَبَ لأُمَّتِيْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, وَلَمْ يُعْطِهَا مَنْ كَانَ قَبْلَهُمْ.

"Sesungguhnya Allah memberikan Lailatul Qadr untuk umatku, dan tidak memberikannya untuk (umat-umat) sebelumnya".

Hadith ini maudhu`[28] , sehingga tidak boleh dijadikan hujjah atau sandaran. Al Khatthabi menyatakan adanya ijma’ para ulama, bahwa Lailatul Qadr juga terdapat pada umat-umat sebelum umat Islam [29]. Ibnu Katsir dan As Suyuthi, di dalam tafsir mereka [30] membawakan hadith yang dikeluarkan oleh Imam Malik di Muwatha’nya [31] yang berkata:

إنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أُرِيَ أَعْمَارَ النَّاسِ قَبْلَهُ أَوْ ما شاءَ اللهُ مِنْ ذَلِكَ فَكَأَنَّهُ تَقَاصَرَ أعمارُ أُمَّتِهِ أَنْ لاَ يَبْلُغُوْا مِنَ الْعَمَلِ مِثْلَ الَّذِيْ بَلَغَ غَيْرُهُمْ فِيْ طُوْلِ الْعُمْرِ, فَأَعْطَاهُ اللهُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ خَيْرًا مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

"(Sesungguhnya Rasulullah diperlihatkan umur-umur manusia sebelumnya atau apa yang dikehendaki Allah, sampai (akhirnya) usia-usia umatnya semakin pendek (sehingga) mereka tidak boleh beramal lebih lama sebagaimana umat-umat sebelum mereka beramal kerana panjangnya usia mereka, maka Allah memberikan Rasulullah Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan)". [32]


Lalu Ibnu Katsir berkata: “Yang diisyaratkan hadith ini ialah adanya Lailatul Qadr pada umat-umat terdahulu sebelum umat Islam”. Beliau juga membawakan hadith lain, iaitu dengan menukil riwayat Imam Ahmad di dalam Musnad-nya [33], dari Abu Dzar yang berkata:

يَا رَسُوْلَ الله, أخْبِرْنِي عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ, أفِي رَمَضَانَ هِيَ أَوْ فِيْ غَيْرِهِ؟ قَالَ: بَلْ هِيَ فِي رَمَضَانَ, قُلْتُ: تَكُوْنُ مَعَ الأنْبِياَءِ ماَكَانُوْا, فَإذَا قُبِضُوْا رُفِعَتْ؟ أمْ هِيَ إلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ؟ قاَلَ: بَلْ هِيَ إلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Wahai Rasulullah, beritahu aku tentang Lailatul Qadr, apakah malam itu pada bulan Ramadhan ataukah pada selainnya?” Beliau berkata: “Pada bulan Ramadhan”. (Abu Dzar) berkata,”(Berarti sudah ada) bersama para nabi terdahulu? Lalu apakah setelah mereka wafat (malam Lailatul Qadr tersebut) diangkat? Ataukah malam tersebut akan tetap ada sampai hari Kiamat?” Nabi menjawab: “Akan tetap ada sampai hari kiamat…"

Kemudian Ibnu Katsir berkata: "Pada hadith ini spun ada isyarat seperti yang telah kami sebutkan (pada hadith pertama), bahwa Lailatul Qadr akan tetap terus berlangsung sampai hari Kiamat pada setiap tahunnya. Tidak seperti apa yang dikatakan oleh sebagian kaum Syi’ah bahwa Lailatul Qadr sudah diangkat (tidak akan terjadi lagi), disebabkan (mereka salah) memahami hadith yang akan kami bawakan sebentar lagi [34]. Kerana, maksud (hadith) yang sesungguhnya ialah, diangkatnya pengetahuan saat terjadinya malam Lailatul Qadr [35]. Juga ada isyarat, bahwa Lailatul Qadr khusus terjadi pada bulan Ramadhan saja dan tidak terjadi pada bulan-bulan lainnya." [36]

Pendapat inilah (bahwa Lailatul Qadr terdapat juga pada umat-umat sebelum umat Islam) yang didukung kuat oleh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya [37], kerana banyaknya hadith-hadith yang menunjukkan hal itu.


_______

[1]. Lailatul Qadr iaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, kerana pada malam itu permulaan turunnya Al Qur`an. (Lihat Al Qur`an dan terjemahnya).

[2]. Seperti Ibnu Jarir Ath Thabari (Tafsir Ath Thabari, 30/312), Ibnu Katsir (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/441), As Suyuthi (Ad Durr Al Mantsur, 8/567), As Sa’di (Taisir Al Karim Ar Rahman, 2/1184), dan yang lain-lainnya. Adapun Al Qurthubi, beliau berpendapat bahwa Surah Al Qadr adalah Madaniyah (Lihat Al Jami’ Li Ahkami Al Qur`an, 20/120).

[3]. Taisir Al Karim Ar Rahman, 2/1184 dengan ringkas. Dan Al Qurthubi telah membawakan beberapa perkataan ulama yang berkaitan dengan sebab penamaan malam itu dengan Lailatul Qadr. (Lihat Al Jami’ Li Ahkami Al Qur`an, 20/120-121). Demikian pula Asy Syinqithi (Lihat Adhwa’ Al Bayan, 9/34).

[4]. Ad Dukhan ayat 3.

[5]. Al Baqarah ayat 185.

[6]. Tafsir Al Qur`an Al ‘Azhim ((8/441).

[7]. Ath Thabari di dalam tafsirnya (30/314) membawakan atsar Mujahid yang mursal (yang tidak ada atau tidak diketahui perawinya antara dia dan Rasulullah), dari Al Mutsanna bin Ash Shabbaah, dari Mujahid, yang maknanya: “Konon ada seorang dari Bani Israil yang melalukan Qiyamul Lail (shalat malam) hingga pagi, kemudian berjihad di siang harinya hingga sore hari, dan (dia) melakukan hal itu selama seribu bulan, maka Allah menurunkan ayat: إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ , (maka) menghidupkan malam (Lailatul Qadr) itu (dengan ibadah) lebih baik dari amalan seorang tersebut”.

Abdurrazzaq Al Mahdi (muhaqqiq kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an, 20/122) berkata (yang artinya): “Khabar ini wahin (lemah)”.

Hal yang serupa juga telah dibawakan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (8/442) dengan sedikit perbedaan lafaz, yang maknanya: “Nabi telah menyebutkan seorang dari Bani Israil yang (selalu) mengenakan persenjataan untuk berjihad di jalan Allah selama seribu bulan”, berkata (Mujahid): “Maka kaum Muslimin (para sahabat) terheran-heran kagum dari hal itu, maka Allahpun menurunkan:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3

Satu malam (yang sama dengan) amalan orang yang (selalu) mengenakan persenjataan untuk berjihad di jalan Allah selama seribu bulan tersebut”.

Sami` bin Muhammad As Salamah (muhaqqiq kitab Tafsir Al Qur`an Al ‘Azhim, 8/443) berkata: “Dan (juga) diriwayatkan oleh Ats Tsa’labi di dalam tafsirnya, dan Al Wahidi di dalam Asbabun Nuzul sebagaimana di dalam Takhrij Al Kasyaf oleh Az Zaila’i (4/253), dari jalan Muslim bin Khalid, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid secara mursal”.

Demikian pula atsar yang telah dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam tafsirnya (10/3452) dan Al Qurtubi di dalam tafsirnya (20/122) dan Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (8/443) dan As Suyuthi di dalam tafsirnya (Ad Durr Al Mantsur, 8/568) dari jalan Maslamah bin ‘Ulay, dari Ali bin ‘Urwah secara mursal, yang maknanya: “Rasulullah (pada suatu hari) menyebutkan empat orang dari Bani Israil yang beribadah kepada Allah selama delapan puluh tahun, tidak pernah bermaksiat sedikitpun. Mereka adalah Ayyub, Zakariya, Hizqil bin Al ‘Ajuz dan Yusya’ bin Nun”. Ali bin ‘Urwah berkata: “Maka para sahabat Rasulullah terheran-heran kagum dengan hal itu, hingga Jibrilpun mendatanginya seraya berkata,’Umatmu telah terheran-heran kagum dengan ibadah mereka selama delapan puluh tahun. Mereka tidak pernah bermaksiat sedikitpun. Sungguh Allah telah menurunkan sesuatu yang lebih baik dari itu’. Lantas Jibrilpun membacakan kepadanya:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3}


Ini (Lailatul Qadr) lebih baik dari apa yang membuatmu dan umatmu terheran-heran kagum”. Maka bergembiralah Rasulullah dan para sahabatnya.

Abdurrazzaq Al Mahdi (muhaqqiq kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an, 20/122) berkata mengomentari atsar ini (yang artinya): “Dha’ifun jiddan (lemah sekali)…, dari jalan Maslamah bin ‘Ulay dari Ali bin ‘Urwah secara mursal. Dan bersamaan dengan itu, Maslamah bin ‘Ulay adalah (perawi) matruk (yang ditinggalkan hadithnya). Dia adalah Al Khusyani. Demikian pula syaikhnya (Ali bin ‘Urwah) adalah matruk. Maka khabar ini lemah sekali, tidak boleh dijadikan hujjah. (Penghukuman) yang lebih tepat (terhadap) khabar ini adalah israiliyaat (khabar tentang Bani Israil yang tanpa dasar)”. Lihat pula biografi Maslamah bin ‘Ulay Al Khusyani dan syaikhnya Ali bin ‘Urwah di dalam Taqrib At Tahdzib (hlm. 701 & 943), karangan Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.

[8]. Aqidah Syi’ah atau Rafidhah yang membenci Mu’awiyah bin Abi Sufyan bahkan membenci Bani Umayah secara umum. Wallahul musta’an.

[9]. Jami’ At Tirmidzi (5/445 no.3350).

[10]. Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/441-442). Al Albani menghukumi hadith ini: “Sanadnya dha’if, mudhtharib, dan matannya munkar”. (Lihat Dhaif Sunan Tirmizi).

[11]. Al Mustadrak ‘Ala Ash Shahihain (3/186 no.4796).

[12]. Tafsir Ath Thabari (30/314).

[13]. Abdurrazzaq Al Mahdi (muhaqqiq kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an, 20/123) berkata: “Ini (penamaan ‘Isa bin Mazin) adalah tashif (kesalahan dalam penamaan)”.

[14]. Hadith mudhtharib adalah hadith yang diriwayatkan dari jalan yang banyak yang sama kuatnya, sehingga tidak mungkin untuk digabungkan atau ditarjih. (Lihat Taisir Mushthalah Al Hadith, hlm. 112). Dan hadith mudhtharib salah satu hadith yang dha’if (lemah).

[15]. Hadith munkar ialah, hadith yang di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang fasiq, buruk hafalannya, dan banyak lalainya. Atau hadith yang diriwayatkan oleh seorang perawi dha’if, dan dia menyelisihi riwayat perawi tsiqah (kuat). (Lihat Taisir Mushthalah Al Hadith, hlm. 95).

[16]. Lihat pula Al Bidayah wa An Nihayah (6/243-244). Ibnu Katsir juga membicarakan hadith ini secara panjang lebar.

[17]. Di dalam kitab tafsirnya, Adhwa’ Al Bayan (9/34).

[18]. Al Qari’ah ayat 1-3.

[19]. HR An Nasa-i (4/129), Ahmad (2/230,385 & 425).Hadith ini dishahihkan Al Albani di dalam Shahih Al Jami’ (no.55), Shahih Sunan An Nasa-i, Shahih At Targhib Wa At Tarhib (1/ ), Tamam Al Minnah (hlm.395).

[20]. Tafsir Ath Thabari (30/314) dan Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/443).

[21]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/314-315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an (20/121), Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/443), Ad Durr Al Mantsur (8/568), dan Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1185).
[22]. Ats Tsamru Al Mustathab (2/576).

[23]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/444), Ad Durr Al Mantsur (8/569), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an (20/123-124). Al Qurthubi juga membawakan beberapa penafsiran ulama lainnya. Di antara mereka ada yang menafsirkan dengan bala tentara Allah yang bukan malaikat, ada pula yang menafsirkan dengan makhluk besar, dan ada pula yang menafsirkan dengan rahmat yang turun bersama Jibril. Wallahu a’lam.

[24]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an (20/124), dan Al Qurthubi berkata, bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas.

[25]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an (20/1َ24), dan Al Qurthubi berkata, bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas.

[26]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an (20/124), Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/444), Ad Durr Al Mantsur (8/568), dan Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1185).

[27]. Di dalam kitabnya, Al Firdaus Bi Ma’tsur Al Khithab (1/173, no.647).

[28]. Syaikh Al Albani berkata,”Maudhu’.” Lihat Dha’if Al Jami’, no. 1669 dan Silsilah Adh Dha’ifah, Jilid 7. Hadith maudhu’ adalah hadith yang palsu, dusta, dan dibuat-buat yang disandarkan kepada Nabi. (Lihat Taisir Mushthalah Al Hadith, hlm. 89).

[29]. Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/446).

[30]. Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/445), Ad Durr Al Mantsur (8/568).

[31]. Al Muwatha` (1/321).

[32]. Akan tetapi Syaikh Al Albani menghukumi hadith ini dan berkata: “Dha’ifun mu’dhal (lemah dan terputus sanadnya dengan jatuhnya dua perawa hadith secara berurutan)”. Lihat Dha’if At Targhib Wa At Tarhib.

[33]. Musnad Imam Ahmad (5/171). Juga terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban (8/438 no.3683), Shahih Ibnu Khuzaimah (3/320-321 no.2169-2170), Al Mustadrak (1/603 no.1596), Sunan Al Baihaqi (4/307 no.8308), Musnad Al Bazzar (9/456 no.4067-4068) dan yang lain-lainnya.
[34]. Lihat Tafsir Al Qur`an Al ‘Azhim (8/446). Adapun hadith yang akan beliau bawakan, yang kaum Syi’ah salah dalam memahaminya, iaitu hadith yang dikeluarkan Al Bukhari dalam Shahih-nya (2/711 no.1919 & 5/2248 no.5705) dari Ubadah bin Shamit berkata:

خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ, فَتَلاَحَى رَجُلاَنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ, فَقَاَلَ: خَرَجْتُ لأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ؟ فَرُفِعَتْ, وَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْراً لَكُمْ, فَالْتَمِسُوْهَا فِيْ التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

Rasulullah keluar untuk memberitahu kami (kapan terjadinya) Lailatul Qadr, tiba-tiba ada dua orang dari muslimin saling mencela (berselisih), beliaupun bersabda: “Aku keluar untuk mengabarkan kepada kalian (kapan) Lailatul Qadr, lalu si Fulan dan Fulan berselisih? Sudah diangkat, dan mudah-mudahan hal itu lebih baik untuk kalian, maka carilah pada ke sembilan, ke tujuh, dan ke lima (dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan)”.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya (8/450-451) berkata: “Dan maksud dari (فَرُفِعَتْ) adalah diangkatnya ilmu (untuk para sahabat) akan kapan terjadinya Lailatul Qadr itu. Bukan diangkatnya Lailatul Qadr secara keseluruhan (sehingga tidak ada wujudnya lagi) -sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang bodoh dari kaum Syi’ah- kerana Rasulullah bersabda setelahnya: “Maka carilah pada ke sembilan, ke tujuh, dan ke lima (dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan)”.”

Demikian juga yang telah dinukilkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di kitab Fathul Bari (4/263), bahwa pendapat Lailatul Qadr telah diangkat secara keseluruhan sehingga tidak ada wujudnya lagi sama sekali, adalah pandapat Syi’ah, sambil membawakan perkataan Abu Hurairah, ketika ditanya apakah Lailatul Qadr telah tiada (sudah diangkat)? Lalu menjawab: “Sungguh telah berdusta orang yang berkata demikian”. Lihat pula Adhwa’ Al Bayan (9/32).

[35]. Demikianlah sehingga Imam Al Bukhari memberi tarjamah (judul bab) hadith ini di Shahih-nya tersebut dengan judul (بَابُ رَفْعِ مَعْرِفَةِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ لِتَلاَحِي النَّاسِ), iaitu: Bab: Diangkatnya pengetahuan (kapan terjadinya) Lailatul Qadr, disebabkan (adanya) perselisihan antara dua orang muslim. Ibnu Katsir pun berkata ketika mengomentari sabdanya: (فَتَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ؟ فَرُفِعَتْ), “Ini sesuai dengan sebuah perumpamaan: Perdebatan (akan) memutuskan faidah, dan ilmu yang bermanfaat.”

[36]. Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya (8/446) membawakan beberapa pendapat ulama, di antaranya pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Lailatul Qadr (boleh) terjadi pada satu tahun penuh, yang boleh diharapkan terjadinya pada setiap bulan dalam setahun. Juga yang dihikayatkan dari Abu Hanifah bahwa Lailatul Qadr boleh diharapkan terjadinya pada satu bulan Ramadhan penuh. Dan ada juga pendapat-pendapat lainnya yang kebanyakan dari pendapat-pendapat tersebut tidak berdasarkan pada dalil yang shahih.Lihat pula pendapat-pendapat ulama yang dibawakan Al Hafizh Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Bari (4/262-266).

[37]. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/445-446).

Isnin, 15 Ogos 2011

ADAB BERDOA DARI AL QURAN DAN AS SUNNAH

Para Ulama menjelaskan tentang adab dan etika dalam berdoa agar dikabulkan, sebagaimana tuntutan dalam al-Qur‘ân dan Hadis.


Al-Baghawi rahimahullah berkata: “Ada etika dan syarat-syarat dalam berdoa yang merupakan sebab dikabulkannya doa. Barangsiapa memenuhinya, maka dia akan mendapatkan apa yang diminta dan barangsiapa mengabaikannya, dialah orang yang melampaui batas dalam berdoa; sehingga doanya tidak berhak dikabulkan”.[1]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata “Kedua ayat berikut mencakup adab-adab berdoa dengan kedua jenisnya (doa ibadah dan doa permohonan);

Iaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ

" Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Janganlah kamu membuat kerosakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadaNya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. [al-A‘raf/7:55-56] [2]


Dan Ibnu Katsîr rahimahullah membawakan sejumlah hadits-hadits yang berkaitan dengan adab-adab tersebut iaitu: [3]

1. Mengangkat kedua tangan sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Salmân al-Fârisi Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


قَالَ إِنَّ اللّهَ حَيِيٌ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

" Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha pemalu lagi Maha pemurah terhadap seorang hamba yang mengangkat kedua tangannya (berdoa), kemudian kedua tangannya kembali dengan kosong dan kehampaan (tidak dikabulkan)." [4]


2. Memulakan doa dengan pujian terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian Salawat dan Salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya bertawasul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tawasul yang disyariatkan, seperti dengan bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan asma' dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan amal shalih dan selainnya.[5]



3. Bersangka baik terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diriwayatkan dalam sebuah hadis qudsi dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَقُولُ اللَّه عَزَّوَجَلَّ : يَقُولُ أَنَّا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِيْ وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِيْ

" Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku (akan) sebagaimana hamba-Ku menyangka tentang-Ku, dan Aku akan bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku”[6]

al-Qurthûbi rahimahullah berkata: " maknanya adalah hamba itu menyangka dikabulkannya doa, diterimanya taubat, diberikan ampun melalui istighfâr, serta menyangka dibalas dengan pahala atas ibadah yang dilakukan sesuai syarat-syaratnya sebagai keyakinan akan kebenaran janji Allah Subhanahu wa Ta’ala. [7]


4. Menjauhi sikap tergesa-gesa mengharapkan terkabulnya doa; karena ketergesa-gesaan itu akan berakhir dengan sikap putus asa sehingga ia tidak lagi berdoa. Na‘ûdzubillâh.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُسْتَجَابُ لأَِحَدِكُم مَالَم يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَم يُتَجَبْ لِي

" Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahawa Rasulullah bersabda “ Akan dikabulkan (doa) seseorang di antara kalian selama dia tidak tergesa-gesa, iaitu dia berkata ‘aku telah berdoa namun belum dikabulkan bagiku’ “.[8]

Dalam lafaz lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ لاَيَزَالُ يُستَجَابُ لِلعَبْدِ مَا لَم ْيَدْع ُبِإِثْم أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَالَمْ يَسْتَعْجِل قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الاِستِعْجَالُ قَالَ يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَم أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ

" Sentiasa akan dikabulkan (doa) seorang hamba selama tidak meminta sesuatu yang membawa dosa atau memutuskan tali kekeluargaan, selama dia tidak tergesa-gesa. Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah , apa yang dimaksud tergesa-gesa?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Dia berkata ‘aku telah berdoa, aku telah berdoa namun aku tidak pernah mendapatkan doaku dikabulkan’, kemudian ia berputus asa dan meninggalkan berdoa.[9]



5. Membersihkan jiwa raga dari berbagai kotoran dosa. Hati yang kotor dengan berbagai maksiat atau jiwa yang tidak bersih dari perkara haram akan menghalang terkabulnya doa.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيًّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَِ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّيسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَاأَيُّهَاالذِنيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَا كُمْ ثُمَّ دَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَارَبِّ يَارَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمََِشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامٌ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

" Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dan tidak menerima melainkan yang baik. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum Mukminin dengan apa yang telah diperintahkannya kepada para rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai para rasul makanlah kalian dari yang baik dan beramal solehlah, sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman makanlah rizki yang baik dari apa yang diberikan kepada kalian…”.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seorang musafir yang berjalan jauh sehingga tidak terurus rambutnya, lusuh dan berdebu tubuhnya, dia mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya berdoa menyeru: “Wahai tuhanku, wahai tuhanku …”, namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi dari yang haram, bagaimana mungkin akan dikabulkan doanya?”.[10]



6. Yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengabulkan doa selama tidak ada sesuatu pun yang menghalangnya. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


ادْعُوا اللَّهَ وَاَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِاْللإِجَاَبَةِ وَاعْلَمُواأَنَّ اللَّهَ لاَيَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

" Berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kalian yakin (akan) dikabulkan, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa (seorang hamba) yang hatinya alpa serta lalai ".[11]

Dalam hadis lain dari Abu Sa‘id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: [12]

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيْهَا إثْمٌ وَلاَقَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّأَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّ خِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ وَإِمَّا اَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا إِذًا نُكثِرُ قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ

" Tidaklah seorang Muslim berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebuah doa yang tidak ada dosa atau pemutusan ikatan kekeluargaan di dalamnya, melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya satu di antara tiga perkara; 1) boleh jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala segera mengabulkan doa tersebut, 2) atau menyimpan sebagai tabungan baginya di akhirat, 3) atau menyelamatkannya dari kejahatan yang setara dengan doa yang dipanjatkannya.” Para sahabat berkata : “Jika demikian, kami akan memperbanyak (doa).” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih banyak.[13]”

Ibnu Katsîr rahimahullah berkata : “Yang dimaksud adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan doa seseorang, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak disibukkan dengan sesuatu apapun. Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha mendengar doa. Dalam hal ini terdapat anjuran (memperbanyak) berdoa kerana tidak satu pun yang luput dari-Nya Subhanahu wa Ta’ala .”[14]

Terutama pada saat kita tengah mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ibadah puasa di bulan Ramadhan. Hendaknya kita mengambil kesempatan yang istimewa ini dengan memperbanyak doa bagi kebaikan kita di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


ثَلاَ ثٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَ تُهُمْ : الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَاْلإِمَامُ الْعَادِلُ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ


" Ada tiga orang yang tidak ditolak doanya; seorang yang berpuasa sehingga berbuka, seorang pemimpin yang adil dan seorang yang dizalimi.[15]



Marilah kita semua memperbanyak doa sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala murka terhadap yang orang yang tidak berdoa kepada-Nya sebagaimana firman-Nya:


وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

" Dan tuhanmu berkata: “Berdoalah kepadaku, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari berdoa kepadaku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.”[16]

Demikian pula dijelaskan dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ مَنْ لَم يَدْعُ اللَّه يَغْضَبْ عَلَيْه” yang artinya: “Barangsiapa yang tidak berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka Allah Subhanahu wa Ta’ala marah terhadapnya”.[17]

Ibnu al-Mubârak Radhiyallahu ‘anhu berkata :


الرّحْمَنُ إِذَا سُئِلُ أَعْطَى، وَالرَّحِيْمُ إِذَا لَمْ يُسْأَلْ يغْضَبُ

Ar-Rahmân (Allah Subhanahu wa Ta’ala) jika Dia diminta akan memberi, dan Ar-Rahîm (Allah Subhanahu wa Ta’ala) jika Dia tidak diminta akan marah.[18]


Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala, aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu‘, dari jiwa yan tidak puas, serta dari doa yang tidak dikabulkan”.[19]
_______
[1]. Ma‘âlimut-Tanzîl : 1/156
[2]. Badâi‘ul Fawâid : 3/2
[3]. Maklumat lebih luas tentang etika dalam berdoa lihat juga kitab “Tashhîhud-du`a” karya Syaikh Bakr Abu Zaid
[4] Shahîh Sunan at-Tirmidzi : 2819, Shahîh Sunan Ibnu Mâjah : 3117
[5]. Lihat klasifikasi tawasul dalam kitab “At-Tauhid” karya Syaikh Shâlih al-Fauzân, hal: 68-71
[6]. HR. al-Bukhâri 7405, Muslim 6805. Ahmad 13192 dengan sanad shahîh
[7]. Fathul Bari; bab firman Allah نفسه ويحذركم 13/397
[8]HR. al-Bukhâri 6340, Muslim 6934, Abu Dâwud 1484, Ibnu Mâjah 3853, Ahmad 10312
[9]. HR. Muslim 6936
[10]. HR. Muslim 2346, at-Tirmizi 2989.
[11]. Shahîh Sunan Tirmidzi 2766, al-Mustadrak 1817 keduanya dari hadits Abu Hurairah , lihat Silsilah Shahîhah no: 594
[12]. Bukhâri dalam Al-Adâbul-Mufrad no: 547, Shahîh Sunan at-Tirmidzi 2728, Ahmad: 11133, al-Hâkim dalam al-Mustadrak: 1816
[13]. Ath-Thibi berkata “yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih banyak (lagi) menkabulkan...”. Lihat Tuhfatul Ahwadzi 10/25
[14]. Tafsir al-Qur‘ânul-‘Azhîm 1/286
[15]. HR. Ibnu Hibbân 5/298 no: 3419. Lihat Silsilah Shahîhah 4/406 no: 1797
[16]. Surah Ghâfir 40:60
[17]. Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 3085. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah Shahîhah no: 2654
[18]. Taisirul-‘Azîz al-Hamîd hal: 15
[19]. HR. Muslim 6906