Dikisahkan dalam
kitab "Tarikh Baghdad" karangan Khathib al-Baghdadi (14/15), dan
kitab "Al-Wafiyaat" karangan Ibnu Khillikan ( 2/228 ), mengenai
biografi Imam ahli bahasa arab, imam penduduk Kufah di dalam masalah nahu iaitu
Yahya bin Ziyad al-Faraa al-Kufi yang meninggal pada tahun 208 H rahimahullah.
Berikut kisahnya:
Berikut kisahnya:
Khalifah al-Ma'mun
telah memberi tugas pada al-Faraa untuk mengajar dua anaknya ilmu nahu. Pada
suatu hari setelah selesai mengajar, al-Faraa bangun ingin menyelesaikan beberapa keperluanya, maka keduanya berebut untuk mengambilkan kasut gurunya al-Faraa. Keduanya
saling berebut ingin mengambilkan kasutnya, lalu al-Faraa memutuskan supaya
keduanya mengambil sebelah kasut tersebut seorang satu supaya tidak ada yang
merasa kecewa. Keduanya pun melaksanakan titah gurunya, setiap orangnya
mengambil sebelah kasut agar dikasihi gurunya.
Sedangkan al-Ma'mun pada setiap
perkaranya pasti mempunyai pelayan yang selalu memantau mencari berita yang
disampaikan kepadanya. Sampailah berita tersebut kepadanya, maka ditulislah
perintah untuk memanggil al-Faraa supaya menghadap kepadanya. Ketika beliau
sudah berada di hadapannya, berkatalah al-Ma'mun kepadanya: "Siapa orang
yang paling mulia di antara manusia?
Beliau menjawab: "Saya tidak mengetahui ada orang yang lebih mulia (kedudukannya) melainkan paduka Amirul Mu'minin". Jawab al-Ma'mun: " Tentulah . Namun,siapa orangnya (kedudukannya) jika putera raja kaum muslimin rela saling berebut hanya untuk mengambilkan kedua kasutnya, sehingga keduanya merasa senang dengan setiap orang mengambil sebelah kasut ".
Beliau menjawab: "Saya tidak mengetahui ada orang yang lebih mulia (kedudukannya) melainkan paduka Amirul Mu'minin". Jawab al-Ma'mun: " Tentulah . Namun,siapa orangnya (kedudukannya) jika putera raja kaum muslimin rela saling berebut hanya untuk mengambilkan kedua kasutnya, sehingga keduanya merasa senang dengan setiap orang mengambil sebelah kasut ".
Beliau menjawab:
"Wahai Amirul Mu'minin, sesungguhnya saya sudah berusaha mencegah keduanya
untuk melakukan hal tersebut. Namuan saya bimbang kalau sekiranya saya mencegah
mereka boleh menghilangkan sifat memuliakan orang yang telah ada pada mereka. Juga
boleh jadi mereka kecewa atau sakit hati dengan kebaikan yang keduanya miliki.
Mereka begitu semangat untuk memberikannya pada orang lain. "
Sesungguhnya
telah diriwayatkan dari Ibnu Abaas bahawasanya beliau memegang (haiwan
tunggangan) Hasan dan Husain sampai keduanya keluar dari pandanganya. Maka ada
salah seorang yang menegur beliau: "Apakah engkau mahu memegang haiwan
tunggangan bagi dua budak itu, sedangkan engkau lebih berumur darinya?".
Beliau pun marah kepadanya, lalu berkata: "Diamlah wahai orang yang bodoh!
Sesungguhnya tidak ada orang yang memahami bagaimana memuliakan orang yang
mempunyai kemuliaan melainkan orang-orang yang punya kemuliaan jua".
Mendengar hal
tersebut lalu al-Ma'mun berkata kepadanya: "Kalau sekiranya engkau
jadi mencegah kedua anakku tentu engkau
akan saya beri ganjaran yang tidak ringan, dan saya anggap kamu telah perbuatan suatu kesalahan yang
besar. Yang dilakukan oleh kedua anakku tidaklah mengapa. Walaupun mereka
mempunyai kemuliaan namun tidaklah menjadikan jatuh martabatnya. Bahkan semakin
mengangkat darjatnya sehingga terserlah keindahan akhlaknya. Saya sudah
memahami apa yang telah diperbuat oleh kedua anakku. "
Seseorang tidaklah
dianggap dewasa - walaupun sudah berumur -
dari tiga perkara: rendah diri bersama pemimpinya, keduanya rendah diri kepada
kedua orang tuanya dan yang terakhir tawadhu' kepada orang yang mengajar ilmu
kepadanya. Saya sudah menyiapkan hadiah untuk keduanya sebanyak seribu dinar,
sedangkan untuk kamu saya siapkan sepuluh ribu dinar atas bagusnya akhlak yang
telah kamu tanamkan kepada anak-anakku".
Tiada ulasan:
Catat Ulasan